Monday 18 May 2015

Teman (Cerpen Edisi Ulang Tahun Meydina Isnaindiah Faharany)

“Debiii, kenapa aku kayak gini terus?” keluh Meydi sehabis melihat skor akhir mata kuliah Second Language Acquisition yang terpampang di kaca ruang dosen.

Hari itu, Ibu Della menjadi dosen pertama yang memberitahukan nilai semester ini. Dan Meydi mengeluhkan ‘pemberian’ nilai darinya. Hanya tinggal menambah 0,3 lagi, maka Meydi akan mendapat nilai B. Hampir sama halnya dengan nilaiku, 84, yang artinya aku hanya tertinggal satu poin lagi menuju alfabet kebahagiaan: A.

“Aku juga Meh, satu angka lagi, bisa jadi A.”

“Ya tapi kan nilai elu B juga.” Dia merengut.

“Lu jeleknya dimananya?”

“UTS.”

Sejujurnya aku tidak tahu harus bilang apa padanya. Toh aku juga kecewa pada diriku sendiri. Melihat orang lain bisa mendapat nilai 86, 90.. kenapa aku mesti kurang satu angka saja? Aku juga merasa jengkel, kesal. Kekhawatiran akan nilai dari mata kuliah yang lain pun membayangiku. Hanya saja, perbedaan aku dan Meydi hari itu adalah aku tidak mengutarakan apa yang aku rasakan. Aku ini boleh dikatakan pengeluh yang minta ampun. Tapi, kalau ada Meydi, aku jadi juara dua dibelakangnya.
“IPK aku Cuma *,**.” Keluhnya lagi.
Di dalam hati aku berbicara panjang lebar. Tuh kan? Apa aku bilang di awal semester? Jangan kebanyakan main. Utamain dulu kuliah. Kalo enggak, lu bakal nyesel di akhir. Liat kan sekarang? Lu beneran nyesel di akhir. Tapi aku tidak mengungkapkannya lewat mulutku. Aku lebih memilih untuk diam saja, mendengarkan semua keluhannya yang menggunung. Karena, jika aku berada di posisi dia, aku pasti tidak mau mendengarkan kata-kata semacam itu, kata-kata yang menyalahkan seperti itu. Dan memang teman itu tidak boleh begitu, menurutku.

***

for Meydi, maybe I’m not a good friend for you (for anyone, maybe). I’m not the one who is the first to say happy birthday on your most delightful day. I’m not the one who is always there when you’re in need. I’m not the one who can even give little suggestions for your problems. I’m not the one who is ‘cool’ enough to hang out with. I’m not the one who will say sorry for the mistake I’ve done to you. I have so many different interests with you, so I cannot always understand many topics you’re talking and it seems making you frustrated, lol.

But I know, you’re a good friend to me, who is the first to find out how stubborn I am, how introverted I am, how devilish my laughter is when it comes to see other people’s sorrow. You should be proud of it, myahahahaha. And when I have some problems, I know a few people whom I should run into. And you’re one of them.  

Sorry for being the worst friend for you in these five years. And sorry for being not able to say these things directly to you. You know I’m not that kind of person.

Cepet beresin kuliahnya! Plis banget fight your laziness! Cepet kerja dan buka toko sepatu Meydi’s Collections :P and always be a good friend to anyone~


HAPPY BIRTHDAY YANG KE-73!!! 

  

Friday 8 May 2015

Kerja Bebas Darah Tinggi?

Hari itu, aku diminta menggantikan mengajar salah satu guru yang berhalangan hadir. Hari itu adalah hari Jumat, yang tidak lain adalah gerbang menuju akhir pekan nan ceria. Tapi, tak seperti kebanyakan orang yang bergembira menyambutnya, aku justru menekuk wajah sampai mungkin tidak sadar kalau bibir ini sudah monyong saking kesalnya dengan mobil yang hanya bisa jalan satu meter per menit (lebay, ya? Tapi rasanya memang seperti itu..). Sekali-sekali aku melirik jam tangan, duh, bisa-bisa telat! Gelisah, deg-degan, kesal, semuanya bercampur jadi satu. Wah, kalau begini terus, tekanan darah akan melesat tinggi!


Yah, begitulah sepenggal kisah tak menyenangkan yang aku alami menjadi ‘pekerja’ di luar rumah. Mungkin banyak hal tak menyenangkan lain yang orang alami saat menjadi pekerja luar rumah. Namun, aku rasa, kemacetan adalah hal yang paling menjengkelkan! Entahlah, mungkin karena aku tidak suka terlambat, atau malas ditegur oleh atasan bila terlambat. Kemacetan ‘kan bukan gara-gara aku! Terkadang aku ingin mengatakan itu dengan egoisnya, hehehe.. tapi tidak boleh.


Tapi, bagaimanapun aku mengutuk kemacetan, itu tak akan mengubah keadaan. Aku akan tetap terkena macetnya jalanan kota Bandung. Dulu sempat terpikirkan untuk membeli sepeda motor, tapi.. aku punya sedikit ‘kenangan’ buruk di masa lalu yang membuat aku tidak bisa mengendarai motor. Jalan terakhir: berangkat lebih awal. Tapi (lagi), ini jadi memakan lebih waktu luangku, hingga kadang-kadang tidak sempat makan karena harus segera berangkat.


Saat melihat timeline @Stiletto_Book, terlihat sebuah foto buku baru berjudul “Sukses Bekerja dari Rumah”. Dari saat itu aku mulai berandai-andai.. andai aku bisa sukses dengan hanya bekerja dari rumah. Kemudian, setelah berpikir panjang mengenai apa yang bisa aku lakukan untuk menghasilkan uang dari rumah, tapi tetap didukung passion-ku(ngomong-ngomong passion-ku ada di pengajaran, bahasa, membaca, dan menulis). Di tengah ruangan aku menatap sekeliling. Novel-novel lama menggunung tidak keru-keruan. Saat itu lah aku mendapat ide untuk menjual novel bekas secara online. Aku sekarang sudah memulainya (walaupun masih mengajar juga), dan selanjutnya berkeinginan untuk menjual novel terbaru juga. Tapi, sayangnya aku tidak tahu harus bagaimana lagi caranya mengembangkan bisnis kecil-kecilan ini. Sepertinya aku harus beli buku itu, mudah-mudahan di dalamnya ada cara untuk menjalankan bisnis ini dengan baik sampai aku tidak perlu bergulat lagi dengan kemacetan dan bisa benar-benar sukses dari rumah! ^^




Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis “Asyiknya Bekerja dari Rumah” http://stilettobook.blogspot.com/2015/04/lomba-menulis-asyiknya-bekerja-dari.html.  

Saturday 30 August 2014

Der Zwilling

Der Zwilling. Udah ketahuan kan kata dari bahasa apa ini? Iya.. aku gak bakalan jauh-jauh dari bahasa Jerman. Biar dikata aku cuma tahu satu kata, aku bakal bahas kata itu berminggu-minggu. Haha :D #apaaikamudeb

Ayo, di google translate dulu apa artinya der Zwilling.. (lalu terdengar bisikan: malesin banget sih) Hehe.. yaudah.. artinya ‘kembaran’ sodara-sodara.

Aku gak punya kembaran, tapi dari kecil sampai sekarang orang-orang sering salah kira kalau aku kembar dengan kakakku yang lebih tua dua tahun..

Nah, sekarang aku mau coba nulisin kejadian-kejadian unik tentang salah duga ini yang pernah terjadi padaku. Tujuannya, supaya aku bisa selalu inget kejadian-kejadian ini lalu senyum-senyum sendiri :P

Kejadian #1

Waktu itu aku, kakak, dan Ibu mau pergi ke suatu tempat, pake angkot. FYI, ibu aku waktu kecil sering banget bikin baju atau beliin baju yang sama buat aku dan kakak aku. Nah, kita bertiga duduk di samping mamang angkotnya. Begitu kita duduk, si mamang angkotnya berbasa-basi dengan nanya, “wah, anaknya kembar, Bu?”

Ini nih part yang agak aneh menurut aku, bukannya menyangkal Ibu malah jawab, “Iya, mang.”

Part yang lebih anehnya lagi, meski tahu dan sepenuhnya sadar aku itu adik yang beda dua tahun dari kakak aku, aku gak protes denger jawaban Ibu. Begitupun kakakku. She just kept silent. What a family..

Mungkin waktu itu Ibu lagi gak mau basa-basi sama orang asing jadinya gak mau ribet dengan membikin kalimat dua kata lebih panjang seperti, “Bukan mang, adek kakak,” Karena, mungkin (lagi) jawaban itu akan mengundang pertanyaan lebih dari si mamang angkotnya, seperti “Oh, ya? Kok mirip banget, Bu?” lol

Kejadian #2
Ini terjadi baru-baru ini nih.. waktu pemilu kemaren aku pergi ke TPS bareng sama si teteh. Di jalan, ketemu sama tetangga-tetangga yang lagi siap-siap pergi juga di depan rumah mereka. Ada satu ibu-ibu yang nyapa kita ,”Aduh kakak beradik ini mau nyoblos?”
Kita tersenyum sambil mengiyakan.
Lalu, si ibu mengerutkan kening dan bertanya, “Sebentar.. ini kakaknya yang mana? Adeknya yang mana, ya?”
Secara sukarela kakakku mengangkat tangannya sambil tertawa-tawa dan bilang, “Ini Ita!”

Kejadian #3

Ceritanya, kakak aku mau ujian gitu. Di kartu peserta ujiannya harus ada foto dia. Tapi, H-1 ujian dia lupa ngeprint foto. Dia pun bertanya padaku, “Bi, punya foto ukuran 2x3 gak?”

“Ada, buat apa?”

“Minta lah, buat ditempel nih..lupa..”

“Wah, emang gak apa-apa?”

“Gak bakal ketahuan,” yakinnya.

Dan seperti keyakinannya, petugas administrasinya tidak terlalu ‘ngeuh’ dengan perbedaan di foto itu, hingga kakakku selamat sampai sekarang dari penipuan foto itu.

Kejadian #4

Aku menaruh foto box aku dan kakakku waktu aku masih di kelas 1 SMA di dalam dompetku. Suatu hari, di kampus, aku membuka dompetku untuk... entah aku lupa untuk apa. Nur yang duduk di sampingku pun melihat foto itu. Dia lalu meminjam foto itu dan memperlihatkan pada pacarnya, Wahyu. Dan mereka mulai main tebak-tebakkan...

“Ay, tunjuk yang mana yang Debi, coba,” pinta Nur pada Wahyu.

Lama, si Wahyu berpikir, kemudian dengan mantap dia menunjuk foto kakak aku. Si Nur yang sudah tahu jawabannya, tertawa.

“Bukan, tahu! Yang ini yang Debi..” koreksinya.

Aku pun menyela diskusi mereka, “Dulu agak susah dibedain Wah.. tapi sekarang tinggal liat warna mukanya. Kakak aku itu warna mukanya ‘polos’ kalau aku agak-agak ‘colorful’ gitu deh..”

Yeah.. if you know what I mean.. :p

Kejadian #5

Kejadian ini menurut aku paling kocak. Dan kalo keinget kejadian ini aku masih bisa ketawa-ketawa. Jadi, awal masuk kuliah itu aku belum pake kerudung. Kakak aku juga gak pake kerudung. Suatu hari, aku diajak main sama kakak aku. Sebelum main, dia ada urusan dulu sama dosennya. Jadilah aku ikut masuk ke wilayah kampusnya. Aku bilang aku mau nunggu aja di parkiran. Dan dia masuk ke gedung kampusnya. Tiba-tiba ada cowok yang ngedeketin aku sambil bilang, “Raeee..!” dan langsung nyubit pipi aku! Lalu dia dengan santainya berlalu begitu saja. Gak lihat ekspresi muka aku yang kaget kali, ya?  -______- Temen-temen kakak aku yang ngelihat dari jauh dan tahu kalo aku bukan ‘Rae’-nya mereka, malah terbahak-bahak. “Dia bukan Rae, ai kamu!” kata Teh Gita dari jauh.

Yah, sebegitu dulu yah dongeng hari ini, kapan-kapan kalau ada waktu dan koneksi internet lagi I’ll tell you more..Bye!

(Anggap Saja) Fusili Carbonara

Happy Saturday everyoneeee :D

Mau malam Minggu nih, guys.. mau pergi ke mana sama pacarnya? Eh, jomblo? Ga ada kegiatan? Mending baca postingan saya aja deh.. kali aja kepikiran buat malam mingguan di dapur :p

Iya, benar..benar.. kali ini saya mau menulis resep hasil eksperimen maksa di ‘dapur’ kosan saya. Ceritanya, hari itu saya udah bosen sama makanan di warteg :p tapi untuk beli makanan di resto atau kafe-kafe pun gak bisa kebeli dengan dompet mahasiswa ini. Akhirnya saya pergi ke supermarket untuk mencari bahan-bahan masakan, tanpa saya tahu mau masak apa hari itu (yah, begitulah saya.. let the future bring~)

Setelah muter-muter beberapa menit di dalam supermarket itu, saya memutuskan untuk beli satu kotak kecil susu putih, sekarung pasta fusili, dan satu sachet kornet keju. Selesai belanja bahan-bahan, saya meluncur pulang. Kebetulan, di kosan masih ada bumbu-bumbu seperti garam dan merica, plus telur ayam.   

So, here my very simple kitchen experiment went...

Dengan penuh rasa sok tau, saya langsung merebus pasta fusili sebanyak yang saya mau, sampai lumayan lembek. Saya angkat, lalu tiriskan.

Selesai itu, saya panaskan minyak di atas wajan dengan kompor listrik warisan nenek moyang (poke: @raelitawahyu).

Setelah lumayan panas, saya masukan telur, lalu dioseng-oseng di atas wajan, yah kayak mau bikin telur orak arik begitulah.. Gak lupa saya taburkan garam sedikit saja.

Kemudian, saya campurkan juga kornet keju ke dalam wajan.

Setelah tercampur dengan baik, saya masukan pasta fusili yang sudah direbus tadi. Saya oseng lagi sodara-sodara.

Tak lama setelah tercampur, saya tuangkan susu cair. Taburkan sedikit garam lagi dan merica.

Saat (dirasa) sudah matang, atau susu cairnya sudah terlihat berkurang, saya matikan kompor dan menyajikannya di piring. And yum! Perut saya pun bergembira memakannya.

Menurut saya sih, hasilnya enak dan .. edible guys.. hehe rasanya creamy creamy gitu dan kejunya kerasaaa banget! Tampilannya mirip sama fetucini carbonara.. Boleh dicoba nih guys buat para anak kos hehehe. Apalagi, pasta fusili mudah didapet dan harganya murah. Daripada pergi ke resto yang mahal mending masak sendiri kan? Porsinya pun bisa sepuasnya kita. Ahaaha

Anyway, saya sebenernya pengen sih masak pake rempah-rempah juga, cuma.. kalau rempah-rempahnya itu gak habis dalam sekali pakai, ribetnya si rempah-rempah itu bakalan membusuk di kosan saya yang mungil ini. Gak ada freezernya.. jadinya saya masak sebegini adanya. Hehe..

Selamat mencoba ya.. :)
ini bukan hasil masakan saya, ini carbonara yang pake fetucini. Saya gak sempet foto waktu itu, tapi kurang lebih tampilannya seperti ini guys :) (pic taken from: masakmasakmasak.wordpress.com)


Tuesday 26 August 2014

Graduation Day = Farewell Party?

Rabu, 20 Agustus 2014. Hari itu hari wisudaannya Iki.

Sepulang dari sekolah aku langsung meluncur dengan angkot Stasiun – Lembang. Awalnya takut telat gara-gara macet wisudaan, Tapi ternyata enggak! Yeay!

Begitu nyampe di gerbang, aku beli sebuket kecil bunga mawar putih buat Iki. Gak lama, aku ngumpul juga sama Amang, Eka, Intan, dan Mamih.

Kita berlima nunggu di depan gymnasium tempat acaranya berlangsung. Rame banget. Lapangan gymnas yang lumayan gede itu jadi sesak sama kendaraan dan orang-orang yang nunggu keluarga, teman, atau senior yang lagi disahkan kesarjanaannya.

Selagi nunggu Iki keluar dari gymnas, seneng banget ngeliat wajah-wajah sumringah dari para wisudawan yang baru keluar dari gymnasium. Dari kejauhan aku gak sengaja ngelihat Arini, temen SMP yang kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, alias bahasa Sunda. Aku gak prepare bunga buat Arini. Sedih  Jadinya aku cuma bisa meluk dan bilang, “Wah, Arini selamat yaa..”

Arini lalu bilang, “Nuhun nya.. Debi iraha?”

Aku tersenyum getir dan bilang, “Nuju penelitian kènèh. Doakeun nyusul, nya?”

Muhun, Amin,” tutupnya.

Kepalaku meliuk kesana kemari mencari tanda-tanda kehadiran our beloved best friend. Akhirnya Intan nelpon Iki, dan Iki memberitahu posisinya dimana.

“Kanan gymnas?” Intan mengonfirmasi.

Spontan kami berlima berjalan menuju arah kanan gymnasium. Dan there she was.. Dengan toganya, Iki berdiri sambil tersenyum cerah. Iki, Abang —sang Pendamping Wisuda— dan juga keluarganya Iki kompak memakai dress code ungu. Kalo tahu, mau ikutan juga deh pake kerudung ungu. Hehehe...

Satu persatu dari kita meluk Iki (eh, enggak deng.. cewe-cewenya doang ya! haha) dan ngasih ucapan selamat. Gak lupa bunganya dikasih juga. Hihi.

Pas aku meluk Iki, aku bilang, “Ikiii, selamat ya.. Iki duluan..”

Terus Iki bales, “Iya ih.. Iki sendirian..”

Gak lama kemudian, Ica dateng dengan baju warna ungu. Hehehe.. Ica the mind-reader nih..

Acara dilanjut dengan foto-foto bersama sang wisudawati, hehe.. dan ngobrol sambil berdiri di depan gymnas.

“Iki, nanti Desember bawa lagi topi toganya ya. Nanti kita foto bareng semua pake toga,” usul Mamih.

Ah, that would be awesome.. Aku hanya bisa mengaminkan dalam hati. Semoga Allah memang menakdirkan aku wisuda sebelum aku ulang tahun yang ke 22 nanti.




Beres itu, Iki harus pergi karena ada acara dulu sama jurusannya.

Tinggallah aku, Mamih, Ica, Intan dan Eka. Kita pergi ke warung ramen di sekitar kampus.  

“Oh iya, Iki tuh katanya udah dapet kerja, Mih?” tanyaku.

“Iya, katanya ada kerjaan. Tapi gatau mau diambil, gatau enggak.”

“Di mana?”

“Di Kuningan..”

Perasaanku gak nyaman denger jawaban itu.

Gak berapa lama, giliran Intan yang ngomong.

“Besok aku pindahan ke Bogor.”

“Jam berapa, Tan?” tanyaku.

“Jam delapan, Budeb..”

Perasaanku tambah-tambah gak enak.

Guys, remembering that we will for sure be far from our besties is not something like simply losing a pen.. it’s seriously way more than that.

Jadinya, aku cuma bisa ngelus dada berkali-kali. That’s the first aid to console myself, hehehe..

Now, my feelings are not (yet) getting well.. I just hope for the best for them in the future. And hope that we will see each other in the distant future as often as we do..


“Of all the things I still remember
Summer’s never looked the same
The years go by
And time just seems to fly
But the memories remain
In the middle of September
We'd still play out in the rain
Nothing to lose but everything to gain
Reflecting now on how things could’ve been
It was worth it in the end..
Yeah we knew we had to leave this town
But we never knew when
And we never knew how..”
—September by Daughtry

Friday 22 August 2014

I to I (Insomnia sampai ISIS)

01:19. Tak bisa tidur. Mungkin efek dari minum kopi Thailand itu. Entahlah.

Radio-radio kesayangan sudah statis. Suara TV membuat migrainku semakin parah. Pilihan terakhir, baca berita di internet.

Kubuka sebuah situs media Jerman yang menyampaikan keputusan mereka mengenai tidak akan ditayangkannya gambar-gambar ‘biadab’ hasil perbuatan ISIS.

Beberapa komentar muncul di bawah pemberitaan tersebut. Ada yang mendukung keputusan media itu atas beberapa alasan, pertama kasihan pada keluarga orang-orang yang menjadi korban pembantaian ISIS tersebut. Kedua, ada juga yang beralasan bahwa tidak semua orang ingin melihat atau setidaknya ‘mampu’ melihat kejadian yang mengerikan itu. Yang ketiga, alasannya adalah untuk tidak menyebarkan seberapa menakutkan ISIS tersebut.

Well, I agree with the first opinion.

Ada juga yang tidak setuju dengan keputusan media itu. But the decision has been made among the staff of that media anyway..

Ada seseorang yang menarik perhatianku. Dalam komentarnya, ia menuliskan bahwa Perancis adalah negara yang memiliki populasi muslim yang cukup banyak –yang mendukung ISIS.

Woho.. stop there.. Karena ini bahasa tulisan, this is so ambiguous I think. It may mean that all of Muslim in France are the supporters of ISIS, or many of the Muslim there support ISIS.

Jika yang dimaksud orang itu adalah yang pertama aku maksudkan, I think I need to clear the thing here.. I’m a Moslem, and I strongly oppose the presence of ISIS. Mereka hanya orang-orang yang .. let’s say.. lost yang mengatasnamakan diri Islam. Well, from what they have done all this time, I can tell that the Islamic thing they have in their ‘organization’ is ONLY ON THE NAME, no more. What they did, or what they are doing are so insanely evil.

Yang aku tahu, yang aku pelajari di sekolah agama, Nabi Muhammad selalu mengajarkan hal-hal yang baik meskipun beliau disakiti. Aku selalu ingat tentang betapa kuatnya kesabaran beliau saat beliau berkali-kali diludahi (ada juga yang bilang dilempari kotoran unta) saat lewat di sebuah rumah orang Yahudi. Apa beliau marah? Tidak. Apa beliau menggerutu di dalam hatinya? Tidak. Apa beliau langsung mengambil pedang dan menebas kepala orang itu? Jawabannya lagi-lagi tidak. Justru, ada twist di ujung cerita itu. Saat Nabi melewati rumah itu lagi, si orang Yahudi tersebut tidak nampak. Apa yang dilakukan Nabi saat itu? Beliau bertanya kepada tetangganya kemana orang Yahudi itu pergi. Si tetangga menjawab bahwa orang tersebut sedang sakit. Dan Nabi justru malah menengoknya.

Apa orang-orang ISIS pernah dengar juga kisah Nabi Muhammad tersebut? Bukankah Nabi Muhammad dilahirkan ke dunia sebagai contoh bagi seluruh umat? Tidak..tidak.. aku harus mengganti pertanyaannya menjadi, apa orang-orang ISIS itu mengakui Nabi Muhammad? Kalau tidak.. bukankah mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan Allah adalah salah satu tanda bahwa kita Muslim? Jika tidak menurut ke pernyataan tersebut, apakah masih bisa disebut Islam?

Yah.. logikaku seperti itu. Wallohu a’lam bishshowab J

Friday 15 August 2014

PPL (A Flash True Story)

(Annyeooong^^ I get back here since ages ago the last time I posted. Ahahaha.. )
Bahagianya seorang guru PPL itu sederhana. Seperti ketika mendengar seorang murid yang bilang,
Miss, pokoknya Miss harus dateng nonton  drama kita, Miss.”
Padahal, aku hanya masuk satu kali ke kelas itu dulu. Itu pun bukan karena tugasku mengajar mereka, melainkan hanya menggantikan guru mereka yang dulu berhalangan hadir.
“Kapan?” tanyaku sambil tersenyum yang kubuat seramah mungkin.
“Biasa, Miss. Hari Rabu.”
Mereka mengatakan ‘biasa’ seolah aku adalah pengajar tetap mereka yang selalu ingat dengan jadwal kelas mereka.
Aku pun terdiam sesaat. Mimik wajahku memang tidak pandai berbohong.
Hari Rabu adalah hari istirahatku dari sekolah.
Aku segera melengkungkan bibirku, memaksakan senyum dusta.
“Oh, iya.. Kalian giliran tampil ke berapa?”
“Ke dua, Miss!”
Nada antusias dari jawaban yang meluncur dari bibir mereka mendarat di telingaku. Rasanya, aku semakin terbebani untuk harus datang melihat drama mereka.
Miss, dateng ya Miss. Ga mau tahu!” ujar mereka pura-pura merajuk.
Ah, kenapa mereka begitu antusias. Sejujurnya, aku bisa saja datang ke kelas mereka, melihat mereka, menyemangati mereka. Namun, alasannya.. bukan.. bukan karena hari Rabu adalah jadwal istirahatku. Karena, pasti akan menyenangkan bisa menonton mereka menampilkan yang terbaik. Melihat mereka mengembangkan keterampilan berbahasa Inggris mereka sendiri.
Tapi.. tapi.. ah sudahlah