Saturday, 29 January 2011

Home :(


ONE LAST DAY

Gak kerasa udah sepuluh hari di Tasik. Besok odah harus pulang ke Bandung. Ahhhh!!! Sumpah masih kangen ibu, bapa, Nasywa, semuaaaaanya. (anyway, aku nulis ini sambil nangis T.T ditambah dengerin 'Only Human' yang versi pianonya doang!). Senior aku pernah cerita, emang seperti inilah derita mahasiswa tingkat satu. Homesickkkk mulu. Tapi apa ceritanya sama aku yang belum balik ke bandung lagi pun udah jebleh kayak begini. Di Tasik aku bisa makan sepuasnya. Haha.. Bisa maen kejar-kejaran sama my cutie naughty sister, Nasywa. 

GAK MAU PULANG



Suatu kali di semester satu, aku pulang ke Tasik.. libur cuma ada 2 hari di weekend. Waktu aku solat, aku cerita..aku gak mau pulang ke bandung. Aku cuma cerita.. gak minta. Tapi, mungkin Allah sayang sama aku (amin), Aku pun sakit sampe hari selasa!. Dan dosen killer yang masuk hari itu pun gak masuk, jadi aku gak bermasalah sama absensi. This is God way.. tapi sekarang aku gak boleh ngomong gitu lagi. Aku harus kuat! Gak boleh nangis lagi!!

Ayo ah DEBS SEMANGAT!!
Wipe your tears!!
Smile!
Give the best for your FAMILY!

Thursday, 27 January 2011

A JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENT’S WRITING (PART 2)

“ITU AKU”
Hari ini. Seperti biasa, Dian ke sekolah setiap pagi. Setiap pagi pula kelasnya ramai dengan berbagai macam pembicaraan. Tak terkecuali Dian. Dian pun mengobrol dengan sahabat-sahabatnya, Taufik, Aji dan Dwi. Aji, adalah seseorang yang pandai mambaca garis tangan alias tukang ramal. Walaupun jarang ramalannya itu terbukti. Tapi, Taufik tetap percaya pada bimsalabim-nya Aji. Dan Dwi, adalah gadis paling cerdas seantero kelas X-1.
Saat asyik-asyiknya tertawa menunggu bel masuk berbunyi, Dwi meminta pada Dian untuk diantar ke toilet. Sementara itu, Taufik mencuri-curi kesempatan. Taufik minta diramal pada Aji.
“Ji, coba Lu ramal Gue. Siapa cewek di kelas X-I ini yang doyan ama Gue?” pinta Taufik seraya menengadahkan tangannya. Aji pun mulai serius menjalani ‘profesi’-nya.
“Namanya dari huruf ‘D’,” ucap Aji.
“Hah? Huruf ‘D’?”
Pulang sekolah. Dian dan Taufik tidak langsung pulang ke rumah mereka. Karena mereka mengikuti ekskul Taekwondo. Dan sekaranglah mereka harus latihan. Latihan itu pun berlangsung cukup lama. Dan kakak pelatih mengistirahatkan juniornya.
Taufik pun mendekati Dian yang duduk bersender di dinding.
“Yan, Yan, tau gak Lo?”
“Apaan?” Tanya Dian sambil menempelkan mukanya ke handuk.
“Tadi pagi, Gue diramal sama si Aji..”
“Yah elah.. masih percaya aja Lo sama ramalannya si Aji..”
“Ahh, dengerin dulu!” Taufik serius. “Kata Dia, ada cewek di kelas kita yang suka sama Gue. Namanya dari huruf ‘D’..”
“Menurut Lo siapa? Gue gitu?” balas Dian sekenanya.
“Yeeyy..Emang Lu suka sama cowok? Gue nyangkanya si Dwi..”
“Sialan Lo! Eh, bentar..si Aji nyebutin berapa jumlah hurufnya gak?”
“Nggak tuh, emang kenapa, Yan?”
“Yahhh, kalo misalkan tiga..gampang! Berarti itu si Dwi..kalo misalkan empat..emm kayaknya Lu punya secret admirer,”
“Siapa?” Taufik penasaran.
“Dina, itulooh si cewek kacamata..”
“Hiiihh..!!” Taufik bergidik.
Tiba-tiba, pelatih memanggil kembali para juniornya untuk berkumpul. Taufik pun langsung ngacir.
“Atau emang Gue, Fik..” gumam Dian pelan.Taufik tak bisa mendengarnya. Dan Dian pun buru-buru ikut berkumpul.
Esok harinya. Hari valentine. Hampir semua teman-teman Dian merayakan hari yang digadang-gadang sebagai hari kasih saying tersebut. Dian adalah salah satu manusia yang paling ogah merayakan hari tersebut. Menurutnya, hari kasih sayang itu bisa dilakukan setiap hari.
Tahun-tahun lalu, Taufik selalu memegang prinsip seperti Dian. Tapi, tahun sekarang berbeda..
Sebenarnya, Taufik pun tidak terlalu memaknai tanggal 14 Februari itu. Hanya, secara kebetulan, Taufik ingin segera menyatakan cintanya pada perempuan yang menyukainya-menurut ramalan ‘mbah’ Aji-. Taufik siap-siap menyambut Dwi yang akan memasuki kelas. Dan begitu Dwi masuk, Taufik menyerbunya.
“Dwi, Gue punya coklat buat Lo. Non-lemak kok alias gak bikin gendut,”
“Tumben Lo ngasih Gue makanan..”
“Eh..iya..”ucap Taufik malu-malu sambil menggaruk kepalanya yang jelas-jelas tidak gatal.
Setelah mentimpan tasnya, Dwi mengambil coklat lain dari tasnya. Taufik mesem-mesem. Ketika Dwi melewatinya, blass.. kaki dwi tidak berhenti di hadapan Taufik. Dwi keluar kelas. Taufik pun membuntutinya. Dan ia pun kaget saat langkah Dwi terhenti di hadapan Kia, sang ketua OSIS, yang ternyata sudah jadian dengan Dwi. Taufik menyesali keterlambatannya. Taufik pun murka. Selama di kelas ia tak berbicara pada siapapun. Termasuk sahabat-sahabatnya. Sampai akhirnya bel pulang berbunyi.
Besoknya lagi. Taufik mulai angkat bicara saat dirinya menyadari bahwa salah satu temannya menghilang pagi itu.
“Ji, si Dian kemana?”
Aji sama sekali tidak menggubris pertanyaan Taufik. Wajahnya benar-benar masam seperti malaikat penjaga neraka.
“Siang, Lo harus ikut Gue,”. Hanya kalimat itu yang diucapkan Aji.
Siangnya. Taufik menuruti kata-kata Aji. Dan Taufik mulai kebingungan dengan sikap Aji yang seperti ini.
“Ji! Lo ngapain ngajak Gue ke tempat kayak begini? Mau maen jelangkung Lo? Eh, biar kata Gue percaya sama ramalan Lo, tapi buat maen kayak beginian Gue gak mau! Gue mau pulang!”
Aji buru-buru menarik lengan Taufik dan terus menyeretnya seperti mobil Derek yang menggusur mobil mogok. Sampai akhirnya langkah Aji terhenti. Aji menunjuk kuburan yang masih bertanah merah. Taufik membaca nisannya.
“D..Di..Dian? DIANDRA?” Taufik terkejut setengah mati.
“Iya..di bawah tanah merah ini terbujur badan sahabat kita yang masih bisa ceria, tertawa bersama kita kemarin,” papar Dwi yang datang tiba-tiba dari belakang. Ketiga sahabat itu menangis sambil berpelukan di samping kuburan Dian.
“Kita bertiga udah ngelupain curhatan Lo tiga bulan lalu Di..Lo bilang kalo Lo kena kanker dan dokter memvonis umur Lo tiga bulan lagi. Maafin kita bertiga Di..”
Sepulang dari kuburan, Taufik mewakili Dwi dan Aji untuk datang ke rumah Dian. Alasan Aji, mau pergi ke rumah sakit nungguin neneknya yang terkena stroke. Kalau Dwi, katanya masih gak tega.
“Ting tong. Ting tong.” Bel rumah Dian berbunyi. Dari balik pintu tersembul wajah tante Astuti, ibunya Dian. Dalam matanya yang masih merah dan berkaca-kaca tersirat kepedihan yang mendalam karena ditinggalkan sang anak tercinta.
“Tante ..” belum selesai Taufik bicara, Tante Astuti memotongnya.
“Silakan masuk,”
Taufik membalasnya dengan anggukan kecil.
“Ada perlu apa, Nak Taufik?” Tanya Tante Astuti mencoba berkata setenang mungkin walaupun masih bisa terasa suaranya yang bergetar.
“Maaf Tante, Saya ke sini hanya ingin mengucapkan bela sungkawa sekaligus meminta maaf atas keterlambatan Saya datang ke sini, ehh.. Aji sama Dwi juga ..”
“Iya, taka apa-apa,”
“Eh, Tante.. Dian meninggalnya kapan? Rasanya mendadak sekali..”
“Tadi subuh, sekitar jam tiga. Tante juga menelpon Aji. Cuma nomor Aji yang Tante tahu.” Jawab tante. Keduanya pun terdiam. Lalu..”Oh, Tante ingat! Tunggu sebentar ya, Nak Taufik,”
Tante Astuti berlari ke ruang dalam meninggalkan Taufik yang kebingungan dibuatnya di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, Tante Astuti kembali menampakkan sosoknya di ruang tamu. Tangannya memegang sebuah kertas kecil. Kecil, karena dilipat-lipat.
“Ini surat dari Dian untuk Kamu. Tante menemukannya ketika membereskan barang-barangnya di rumah sakit,”
“Untuk Saya? Eh, baik kalo gitu, Saya pulang dulu, Tante,”
Malamnya, diramaikan oleh gemercik air hujan. Selesai makan malam, Taufik masuk ke kamarnya. Ia membunyikan radio dan membaca surat dari Dian tersebut.
Dear Taufik sahabatku..
Kemarin lusa, kamu menanyakan siapa perempuan di kelas kita yang suka sama lo dari huruf d. Coba lo tanyain lagi sama Aji berapa jumlah hurufnya. Gue rasa ada empat. Tapi, bukan Dina si cewek kacamata yang lo takutin. Tapi gue. Gue suka sama lo sejak kita sahabatan.
3 bulan lalu gue pernah cerita gue terserang kanker. Dan dokter memvonis umur gue tinggal 3 bulan lagi. Gue juga bilang, gue bisa sembuh kalo ada dukungan dari orang terdekat gue. Kecuali kalo gue tertekan. Gue akan cepat mati. Dan waktu lo ngasihin coklat ke Dwi, hati gue sakit banget..Sekujur tubuh gue serasa ada yang nusuk ribuan pedang tajam. You killed me..Tapi, gak apa-apa..Tuhan udah ngasih jalannya buat gue supaya gue bisa lupain lo. Maafin gue. Sampein salam saying gue buat Aji sama Dwi.
Sahabat lo,

Dian
Selesai membacanya. Air mata Taufik tak bisa dibendung lagi. Taufik pun mengambil ponselnya, mencari kontak ‘Aji’ dan menekan tombol dial.
“Aji..Gue..hiks..Gue mau Tanya..Lo gak usah maen tebak-tebakan lagi sama Gue. Siapa cewek di kelas kita yang kata Lo suka sama Gue?”
Taufik tenggelam dalam keheningan sejenak.
“Apa? Dian? Jadi beneran Dian?”. Taufik menutup ponselnya. Taufik teringat satu kalimat berbahasa Inggris yang ditulis Dian. ‘You killed me’.
Keesokkan harinya, Taufik berkunjung ke kuburan Dian.
“Ternyata Lo Di, yang suka sama Gue? Kenapa waktu latihan terakhir taekwondo Lo, Lo gak bilang sama Gue?”
(Maaf kalo banyak kekurangannya, sekali lagi harap maklum, ini tulisan zaman piala dunia di Jerman cuy!)
Thanks to :
·         Allah Swt.
·         My friends at 2nd grade of Junior High School 1 Rajapolah, You gave so much contribution in my life.

Tuesday, 25 January 2011

A JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENT'S WRITING (PART 1)

Cerpen Jadul
Pas beres-beres kardus-kardus bekas di rumah, aku nemu buku coklat dengan pita merah sebagai pembatas. Dipikir-pikir, kok rasanya kenal ya.. Akhirnya, aku ambil deh buku itu. Di cover depan ada tanda tanganku yang duluuu banget, waktu aku masih di SMP. Hihihi.. lucu banget!
Banyak banget catatan-catatan selama aku duduk di SMP kelas dua. Ada rumus fisika, hafalan sosiologi, catatan pertandingan sepakbola, catatan hadits, wuihhh dan ada beberapa cerita-cerita gagalku. Adapula beberapa yang tamat. Tapi..tulisannya agak kaku gitu deh, maklumlah..anak SMP!! Haha.. Dan sekarang aku akan menuliskan beberapa cerita tamat yang aku temukan di dalam buku itu. Chek this out!
A JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENT’S WRITING :
MENTARI, SAHABATKU
          Di suatu sekolah, ada dua orang anak yang sering banget cekcok. Mereka itu adalh Egad an Happy. Dan ujung-ujungnya pasti marahan. Cekcok-nya Egad an Happy itu sudah menjadi rutinitas di telinga teman-temannya. Siapa yang memulai pertarungan tersebut, gak pernah ada yang tahu. Yang tahu hanya mereka bertiga. Bertiga?? Yep! Ega, Happy dan Tuhan.
          Sampai akhirnya, saat Egad an Happy marahan, Ega berani mengalah pada Happy. Tapi Happy?
          “Py, maafin Gue deh..Gue janji. Gue gak bakalan ngehina Lu lagi, Py..Ya, Py, Ya..”
          “GAK ADA!” bentak Happy.
          “Heuhh!! Orang mau minta maaf juga! Terserah!”
          Ega melesat meninggalkan ruangan kelas. Happy duduk tegap, seperti orang kesetrum. Beberapa menit kemudian Happy pun pulang.
          Happy menenteng sepedanya. Seperti biasa Happy tidak langsung pulang menuju rumahnya. Tapi, ia duduk dahulu di bibir pantai nan sejuk.
          Happy memerhatikan matahari senja yang hendak pamit pulang. Agak jauh dari Happy-tanpa disengaja- Ega melihatnya. Dengan berjalan gontai, Ega mendekati Happy. Sesampainya di belakang Happy, Ega menyapanya pelan.
          “Sore, Py!”
          Happy melongok ke belakang.
          “Ega?”
          “Iya..mmh..Py..sori ya..tadi siang..”
          “Gak papa kok Ga..GUe juga yang rada-rada kurang ajar sama Lo,”
          Ega terhenyak kaget.
          “Beneran Py?”
          Happy mengangguk. Suasana di pantai hari itu kian hangat. Happy dan Ega asyik mengobrol. Tanpa disadari sang matahari sudah said goodbye. Mereka pun pulang.
Keesokkan harinya, di sekolah.
“Py,” sapa Ega dengan sebuah senyuman hangat tersungging di bibirnya.”Ehh..entar abis pulang sekolah, Gue boleh ke pantai lagi kan Py?”
“Ya ampun, Ga..emang pantai itu punya Gue apa?”
“Jadi, boleh?”
“Gak perlu Gue jawab juga Lo udah ngerti kan?”
Tanpa sepengetahuan Happy, Ega mengajak teman-teman se-geng-nya. Termasuk kekasih hatinya, Lala.
Sepulang sekolah, Happy langsung beranjak pergi ke pantai. Sementara Ega Cs menyusulnya.
Sesampainya di pantai, Ega kembali menyapa Happy.
“Sore Happy!” Suara Ega mengagetkan Happy. Happy membalikkan badannya. Dan seketika wajah Happy yang ceria berubah 180 menjadi..
“EGA?!” jawaban sapaan Ega dari Happy kesal pada Ega, karena tanpa sepengetahuannya, Ega membawa teman-temannya yang jelas-jelas menenteng miras.
“Kenapa?” Tanya Ega terheran-heran.
“Lo tuh ya!!” Happy membentak keras sambil berlalu dari hadapan Ega. Ega hanya menggaruk-garuk kepalanya. Sementara itu, teman-teman Ega asyik bergumul bersama ombak.
Happy melangkah cepat. Tiba-tiba saja, ia ingin buang air kecil. Ia pun segera memasuki toilet umum. Setelah itu, Happy berniat langsung pulang. Namun, ia teringat sepedanya yang masih tertinggal di pantai. Dengan terpaksa, ia pun kembali ke pantai. Dan alangkah kagetnya Happy ketika yang ia lihat di pantai itu hanya seorang anak kecil yang bernama Diana. Happy tak melihat satu sosok pun dari gerombolan yang dibawa Ega.
“Di, tadi liat ada orang-orang gak disini? Yang pake baju seragam SMA?” Tanya Happy pada Diana.
“Iya. Mereka itu orang gila ya, Kak Happy?” Tanya balik Diana dengan polosnya.
“Apa? Orang gila? Maksud kamu? Ehh..mereka itu temen-temen Kakak,”
“Hah? Tapi, mereka kayak orang gila, Kak. Gak ada apa-apa, tapi mereka malah teriak ‘tsunami..tsunami..’ gitu..”
“Ah, masa sih?” Diana seolah tak percaya.
“Kalo Kakak gak percaya, Tanya aja tuh PKL-PKL yang ada di sana,” ucap Diana sambil menunjukkan telunjuknya kea rah deretan pedagang kaki lima di pinggir jalan.
“Hm.. aneh,” gumam Happy.
Esok harinya,kembali ke sekolah. Happy pun kembali ke sekolah seperti biasanya. Tiba-tiba Ega datang menghampirinya.
“Heh, Py! Maksud Lo kemaren apa?? Pake marah segala lagi? Kalo maksud Lo Gue udah bawa temen-temen geng gue tanpa sepengetahuan Elo, salah Lo sendiri! Kenapa kemarin lo bilang Gue gak perlu minta izin sama Lo?!” teriak Ega di depan muka Happy.
Happy cepat tanggap. “Woiii!! Cowok kurang ajar!Gue kasih tau ya, Gue marah bukan karena Lo ngajak temen-temen Lo ke pantai tanpa sepengetahuan Gue, tapi GUe marah karena temen-temen Lo itu bawa miras! Iya kan??” sentak Happy tak kalah sengit. “Lo semua juga udah gila! Teriak-teriak ada tsunami, mau bikin orang-orang pantai lari? Ngerjain mereka gitu?”
Emosi Ega mengendur.
“Gue gak gila, Py. Sumpah kemaren ada tsunami di pantai,” jelas Ega
“Oh ya?” Tanya Happy dengan nada meremehkan. “Eh, kalo di pantai itu ada tsunami, pasti Indonesia udah heboh! Stasiun tv bakal berdatangan ke sini!”
“Kalo Lo gak percaya, ikut Gue entar siang!”
Siang pun datang. Ega mengajak Happy ke rumah sakit Husada di dekat sekolah. Di sana, Ega memperlihatkan kondisi Lala pada Happy. Lala mengalami cedera di bagian kaki kanannya gara-gara menabrak sesuatu saat digulung ‘tsunami’ tersebut. Happy jelas kaget. Kemudian, Ega dan Happy duduk di kursi di lorong rumahsakit.
Lama mereka berhening-hening ria. Sampai akhirnya Happy membuka mulutnya.
“Ga..kesedihan Lala tuh gak ada apa-apanya yang kakinya cedera. Penderitaan Gue lebih dari itu. Gue harus kehilangan orang tua dan kakak Gue. Mereka pergi selama-lamanya di suatu kecelakaan..” ucap Happy lirih. “Sampai akhirnya, orang tua Diana, orang yang ngasih tau Gue tentang ‘tsunami’ aneh itu, nolongin Gue dan ngangkat Gue jadi anak mereka. Dan Gue pun hidup di pantai itu. Gue pasrahin semuanya sama Tuhan. Hingga akhirnya Gue jadi terbiasa duduk-duduk di pantai itu sore-sore sambil mandangin matahari. Entah kenapa Gue selalu ngomong..cerita sama matahari. Gue sadar, mungkin Tuhan ngasih pantai dan matahari itu buat jadi sahabat Gue, yang menyayangi Gue dengan tulus..dan Gue merasa matahari yang hangat itu udah cukup buat bikin hati Gue jadi lembut untuk maafin Lo waktu dulu,”
Ega terpaku mendengar cerita Happy yang menyentuh hatinya.
“Tsunami aneh itu . . sekarang Gue tau . .” celoteh Ega tiba-tiba.
Happy menoleh pada Ega.
“Mungkin, Tuhan marah sama Gue yang udah ngeganggu Lo sama sahabat Lo gara-gara Gue mau hura-hura di pantai itu. Py, maafin Gue ya..Gue janji, kalo Gue mau nemuin Lo di pantai itu, Gue gak akan berniat hura-hura atau berlaku seenaknya kayak kemaren, bawa miras . . tapi sumpah Py! Yang bawa dan mau minum tuh bukan Gue,”
“Iya..Gue maafin Lo kok, Ga..”
Thanks, Py,”
Sekarang keduanya terdiam kembali.
          Dan..Suara Ega memecah keheningan.
          “Py, Lo mau kan ngenalin sahabat Lo ke Gue?”
          “Sahabat?”
          “Matahari, pantai sama . . sekalian aja Diana,”
          “Apaan sih? Lala mau dikemanain? Eh, asal tau aja ya, Diana itu anak kecil, oon..”
          Ega pun tergelak.
          “Kalo gitu Gue ganti deh permintaannya..”
          Happy mengerutkan kening sambil menatap Ega.
          “Apa emangnya?”
          “Eh..Lo mau kan..jadi..jadi..sahabat Gue? Dan jangan cekcok lagi?”
          “Kalo itu gak usah ditanya Ga..” jawab Happy sambil menepuk bahu Ega.
          Keduanya tersenyum bersama.
          Sejak saat itu, di sekolah, tak ada lagi percekcokan alias adu mulut di antara mereka berdua. Teman-teman mereka yang sudah terbiasa dengan debat urat saraf itu menjadi heran melihat keadaan mereka sekarang. Satu sekolah pun jadi tanda Tanya. Tanda Tanya yang guuedeeee banget!!
Thanks to :
* Allah Swt (always ..) :)
* Sahabatku di 2nd grade of junior high school. You made me get the inspiration!!




Thursday, 20 January 2011

“If You Want to Be a Journalist, just Go On..”



                Hari Selasa yang mendung. Angin bertiup dengan kecepatan yang tidak rendah. Tepat jam 1.30 siang, aku menunggu di pintu kelas yang berada di lantai lima untuk Speaking-Test, tes terakhir dari tiga rangkaian Entry Test. Tak ada tempat duduk, aku pun menempelkan pantatku di lantai keramik coklat dan krem yang dingin. Sebelum tes, seperti biasa aku menghilangkan rasa deg-degan dengan obrolan konyol bersama teman-temanku.
                Jam 2.15, aku pun masuk ke ruang kelas dengan temanku, Doni. Tester hari itu adalah Pak Handi, dosen pembimbingku.
                “Topik yang kemarin kamu bahas tentang apa?” Tanya Pak Handi.
                “Job, Pak,” jawabku.
                “Kamu?” Tanya Pak Handi seraya menelengkan pandangannya kea rah Doni.
                “Tentang Money, Pak,”
                “Okay, berarti sekarang kalian akan membahas tentang family..” Pak Handy membuka kertas yang berjudul ‘Students’ Book’. Jarinya menunjuk gambar sebuah rumah.
                “Debi.. What is your mother?”
                “Emm, my mother is a teacher..”
                “Where does she work?”
                “In elementary school, Sir,”
                “Ok, you, Doni. What is your mother?”
                “It’s the same with Debi. My mother is a teacher too,”
                Tiba-tiba, Pak Handy mengangkat tangannya ke udara. Telapak tangannya menghadap wajah kami berdua.
                “Wait a minute please..”katanya. Dia mendekatkan ponsel ke telinganya.
                Aku cekikikan. Ku palingkan wajahku ke samping kanan di mana Doni duduk.
                “Don, jangan-jangan kita satu ibu?” celotehku pelan.
                Doni geleng-geleng kepala. Wajahnya menyiratkan keinginan untuk tertawa namun ia menahannya sekuat tenaga.
                Sepertinya obrolan di ponsel telah berakhir. Pak Handi meletakkan ponsel di samping map berwarna hijau di hadapannya.
                “Back to Debi.. Do you want to be a teacher, like your mother?”
                Hening sesaat. Lagi-lagi pertanyaan ini. Aku menggerutu di dalam hati.
                “No, Sir. Actually, I want to be a journalist. But, since I have taken English Education, I have to prepare myself to be a teacher..”
                Kemudian Pak Handi bertanya hal yang sama pada Doni. Tapi aku tidak terlalu memerhatikan kata-kata yang ke luar dari mulut Doni. Aku berkutat dengan pikiranku sendiri. Membayangkan apa yang aku katakan sebelumnya.
                Aku kembali dari lamunanku saat Pak Handi bicara.
                “Sebenarnya, kalau Anda sudah lulus dari sini, Anda tidak harus selalu menjadi guru. Prodi sastra pun, bila ingin menjadi guru tinggal mengikuti training selama setahun, kan? So, if you want to be a journalist, just go on.. Anda boleh bercita-cita menjadi apa saja yang Anda mau..Tidak ada yang menghalangi Anda,”
                Jrett!! Seolah jantungku disengat listrik yang menyegarkan pikiranku. Mengeluarkan aku dari semua penyesalan yang selama ini telah membuatku sedih dengan suksesnya!
                Hari yang mendung kala itu tak berarti banyak buatku. Tak sedikit pun perasaanku terpengaruh olehnya. Saat keluar dari ruangan, meskipun tes ku tidak bisa dibilang sangat bagus, aku ingin tersenyum. Seolah-olah aku menjadi artis di video klip Anggun dengan lagunya Shine. Aku akan meraih semua impianku. Aku tidak akan menyerah. Tidak ada yang bisa menghalangiku.

#Thanks to
  • Allah Swt.
  • My motivating lecturer, Mr. M. Handi Gunawan, S.Pd, M.Pd
  • My friend, Doni after making me confused in a role play!