Thursday, 27 January 2011

A JUNIOR HIGH SCHOOL STUDENT’S WRITING (PART 2)

“ITU AKU”
Hari ini. Seperti biasa, Dian ke sekolah setiap pagi. Setiap pagi pula kelasnya ramai dengan berbagai macam pembicaraan. Tak terkecuali Dian. Dian pun mengobrol dengan sahabat-sahabatnya, Taufik, Aji dan Dwi. Aji, adalah seseorang yang pandai mambaca garis tangan alias tukang ramal. Walaupun jarang ramalannya itu terbukti. Tapi, Taufik tetap percaya pada bimsalabim-nya Aji. Dan Dwi, adalah gadis paling cerdas seantero kelas X-1.
Saat asyik-asyiknya tertawa menunggu bel masuk berbunyi, Dwi meminta pada Dian untuk diantar ke toilet. Sementara itu, Taufik mencuri-curi kesempatan. Taufik minta diramal pada Aji.
“Ji, coba Lu ramal Gue. Siapa cewek di kelas X-I ini yang doyan ama Gue?” pinta Taufik seraya menengadahkan tangannya. Aji pun mulai serius menjalani ‘profesi’-nya.
“Namanya dari huruf ‘D’,” ucap Aji.
“Hah? Huruf ‘D’?”
Pulang sekolah. Dian dan Taufik tidak langsung pulang ke rumah mereka. Karena mereka mengikuti ekskul Taekwondo. Dan sekaranglah mereka harus latihan. Latihan itu pun berlangsung cukup lama. Dan kakak pelatih mengistirahatkan juniornya.
Taufik pun mendekati Dian yang duduk bersender di dinding.
“Yan, Yan, tau gak Lo?”
“Apaan?” Tanya Dian sambil menempelkan mukanya ke handuk.
“Tadi pagi, Gue diramal sama si Aji..”
“Yah elah.. masih percaya aja Lo sama ramalannya si Aji..”
“Ahh, dengerin dulu!” Taufik serius. “Kata Dia, ada cewek di kelas kita yang suka sama Gue. Namanya dari huruf ‘D’..”
“Menurut Lo siapa? Gue gitu?” balas Dian sekenanya.
“Yeeyy..Emang Lu suka sama cowok? Gue nyangkanya si Dwi..”
“Sialan Lo! Eh, bentar..si Aji nyebutin berapa jumlah hurufnya gak?”
“Nggak tuh, emang kenapa, Yan?”
“Yahhh, kalo misalkan tiga..gampang! Berarti itu si Dwi..kalo misalkan empat..emm kayaknya Lu punya secret admirer,”
“Siapa?” Taufik penasaran.
“Dina, itulooh si cewek kacamata..”
“Hiiihh..!!” Taufik bergidik.
Tiba-tiba, pelatih memanggil kembali para juniornya untuk berkumpul. Taufik pun langsung ngacir.
“Atau emang Gue, Fik..” gumam Dian pelan.Taufik tak bisa mendengarnya. Dan Dian pun buru-buru ikut berkumpul.
Esok harinya. Hari valentine. Hampir semua teman-teman Dian merayakan hari yang digadang-gadang sebagai hari kasih saying tersebut. Dian adalah salah satu manusia yang paling ogah merayakan hari tersebut. Menurutnya, hari kasih sayang itu bisa dilakukan setiap hari.
Tahun-tahun lalu, Taufik selalu memegang prinsip seperti Dian. Tapi, tahun sekarang berbeda..
Sebenarnya, Taufik pun tidak terlalu memaknai tanggal 14 Februari itu. Hanya, secara kebetulan, Taufik ingin segera menyatakan cintanya pada perempuan yang menyukainya-menurut ramalan ‘mbah’ Aji-. Taufik siap-siap menyambut Dwi yang akan memasuki kelas. Dan begitu Dwi masuk, Taufik menyerbunya.
“Dwi, Gue punya coklat buat Lo. Non-lemak kok alias gak bikin gendut,”
“Tumben Lo ngasih Gue makanan..”
“Eh..iya..”ucap Taufik malu-malu sambil menggaruk kepalanya yang jelas-jelas tidak gatal.
Setelah mentimpan tasnya, Dwi mengambil coklat lain dari tasnya. Taufik mesem-mesem. Ketika Dwi melewatinya, blass.. kaki dwi tidak berhenti di hadapan Taufik. Dwi keluar kelas. Taufik pun membuntutinya. Dan ia pun kaget saat langkah Dwi terhenti di hadapan Kia, sang ketua OSIS, yang ternyata sudah jadian dengan Dwi. Taufik menyesali keterlambatannya. Taufik pun murka. Selama di kelas ia tak berbicara pada siapapun. Termasuk sahabat-sahabatnya. Sampai akhirnya bel pulang berbunyi.
Besoknya lagi. Taufik mulai angkat bicara saat dirinya menyadari bahwa salah satu temannya menghilang pagi itu.
“Ji, si Dian kemana?”
Aji sama sekali tidak menggubris pertanyaan Taufik. Wajahnya benar-benar masam seperti malaikat penjaga neraka.
“Siang, Lo harus ikut Gue,”. Hanya kalimat itu yang diucapkan Aji.
Siangnya. Taufik menuruti kata-kata Aji. Dan Taufik mulai kebingungan dengan sikap Aji yang seperti ini.
“Ji! Lo ngapain ngajak Gue ke tempat kayak begini? Mau maen jelangkung Lo? Eh, biar kata Gue percaya sama ramalan Lo, tapi buat maen kayak beginian Gue gak mau! Gue mau pulang!”
Aji buru-buru menarik lengan Taufik dan terus menyeretnya seperti mobil Derek yang menggusur mobil mogok. Sampai akhirnya langkah Aji terhenti. Aji menunjuk kuburan yang masih bertanah merah. Taufik membaca nisannya.
“D..Di..Dian? DIANDRA?” Taufik terkejut setengah mati.
“Iya..di bawah tanah merah ini terbujur badan sahabat kita yang masih bisa ceria, tertawa bersama kita kemarin,” papar Dwi yang datang tiba-tiba dari belakang. Ketiga sahabat itu menangis sambil berpelukan di samping kuburan Dian.
“Kita bertiga udah ngelupain curhatan Lo tiga bulan lalu Di..Lo bilang kalo Lo kena kanker dan dokter memvonis umur Lo tiga bulan lagi. Maafin kita bertiga Di..”
Sepulang dari kuburan, Taufik mewakili Dwi dan Aji untuk datang ke rumah Dian. Alasan Aji, mau pergi ke rumah sakit nungguin neneknya yang terkena stroke. Kalau Dwi, katanya masih gak tega.
“Ting tong. Ting tong.” Bel rumah Dian berbunyi. Dari balik pintu tersembul wajah tante Astuti, ibunya Dian. Dalam matanya yang masih merah dan berkaca-kaca tersirat kepedihan yang mendalam karena ditinggalkan sang anak tercinta.
“Tante ..” belum selesai Taufik bicara, Tante Astuti memotongnya.
“Silakan masuk,”
Taufik membalasnya dengan anggukan kecil.
“Ada perlu apa, Nak Taufik?” Tanya Tante Astuti mencoba berkata setenang mungkin walaupun masih bisa terasa suaranya yang bergetar.
“Maaf Tante, Saya ke sini hanya ingin mengucapkan bela sungkawa sekaligus meminta maaf atas keterlambatan Saya datang ke sini, ehh.. Aji sama Dwi juga ..”
“Iya, taka apa-apa,”
“Eh, Tante.. Dian meninggalnya kapan? Rasanya mendadak sekali..”
“Tadi subuh, sekitar jam tiga. Tante juga menelpon Aji. Cuma nomor Aji yang Tante tahu.” Jawab tante. Keduanya pun terdiam. Lalu..”Oh, Tante ingat! Tunggu sebentar ya, Nak Taufik,”
Tante Astuti berlari ke ruang dalam meninggalkan Taufik yang kebingungan dibuatnya di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, Tante Astuti kembali menampakkan sosoknya di ruang tamu. Tangannya memegang sebuah kertas kecil. Kecil, karena dilipat-lipat.
“Ini surat dari Dian untuk Kamu. Tante menemukannya ketika membereskan barang-barangnya di rumah sakit,”
“Untuk Saya? Eh, baik kalo gitu, Saya pulang dulu, Tante,”
Malamnya, diramaikan oleh gemercik air hujan. Selesai makan malam, Taufik masuk ke kamarnya. Ia membunyikan radio dan membaca surat dari Dian tersebut.
Dear Taufik sahabatku..
Kemarin lusa, kamu menanyakan siapa perempuan di kelas kita yang suka sama lo dari huruf d. Coba lo tanyain lagi sama Aji berapa jumlah hurufnya. Gue rasa ada empat. Tapi, bukan Dina si cewek kacamata yang lo takutin. Tapi gue. Gue suka sama lo sejak kita sahabatan.
3 bulan lalu gue pernah cerita gue terserang kanker. Dan dokter memvonis umur gue tinggal 3 bulan lagi. Gue juga bilang, gue bisa sembuh kalo ada dukungan dari orang terdekat gue. Kecuali kalo gue tertekan. Gue akan cepat mati. Dan waktu lo ngasihin coklat ke Dwi, hati gue sakit banget..Sekujur tubuh gue serasa ada yang nusuk ribuan pedang tajam. You killed me..Tapi, gak apa-apa..Tuhan udah ngasih jalannya buat gue supaya gue bisa lupain lo. Maafin gue. Sampein salam saying gue buat Aji sama Dwi.
Sahabat lo,

Dian
Selesai membacanya. Air mata Taufik tak bisa dibendung lagi. Taufik pun mengambil ponselnya, mencari kontak ‘Aji’ dan menekan tombol dial.
“Aji..Gue..hiks..Gue mau Tanya..Lo gak usah maen tebak-tebakan lagi sama Gue. Siapa cewek di kelas kita yang kata Lo suka sama Gue?”
Taufik tenggelam dalam keheningan sejenak.
“Apa? Dian? Jadi beneran Dian?”. Taufik menutup ponselnya. Taufik teringat satu kalimat berbahasa Inggris yang ditulis Dian. ‘You killed me’.
Keesokkan harinya, Taufik berkunjung ke kuburan Dian.
“Ternyata Lo Di, yang suka sama Gue? Kenapa waktu latihan terakhir taekwondo Lo, Lo gak bilang sama Gue?”
(Maaf kalo banyak kekurangannya, sekali lagi harap maklum, ini tulisan zaman piala dunia di Jerman cuy!)
Thanks to :
·         Allah Swt.
·         My friends at 2nd grade of Junior High School 1 Rajapolah, You gave so much contribution in my life.

No comments:

Post a Comment