"Warum schau ich nach einem Zeichen,
nach irgend ´ner SMS?
Um ´ne Geschichte zu hören,
die nie begonnen hat.
Geht´s dir genauso wie mir?
Weißt du noch?
Es sind Welten, die uns trennen.
Nichts ist ewig!
Hast du meine Stimme schon gelöscht?
Ist es so weit?
...
Ich hab nur grad vergessen zu vergessen,
dass es dich gibt!"
Vergessen zu Vergessen - Luxulärm
(Why am I looking for a sign, for a text message?
Just to listen to a story that never even began.
Are you feeling the same?
Do you remember?
The different worlds are keeping us apart.
Nothing lasts forever.
Did you already erase my voice?
Has the time come?
I simply just forgot to forget that you exist!)
Lieber Basti,
Betapa
komplitnya sakit gara-gara merindukanmu malam ini. Malam minggu. Memikirkan kau
yang sama sekali tidak memikirkanku.
Kau
Basti Reinhardt. Lelaki berkebangsaan Jerman namun dengan anehnya merupakan seorang
fans klub sepakbola Inggris, Arsenal. Lelaki yang usianya lebih tua satu tahun
kurang sepuluh hari dariku. Lelaki yang memiliki rambut cokelat kemerahan dan
mata berwarna biru. Alumni Gymnasium Wilhelm und Alexander von Humboldt dan sekarang sudah menjadi mahasiswa
jurusan Ilmu Geografi di Universitas Teknik Dresden. Orang yang memiliki mobil
dengan pelat nomor ML – MB – 640. Kekasih dari gadis cantik asal Magdeburg yang
bernama Janine Schwarz. Lelaki yang wajahnya kini sedang menampang di layar
laptopku saat ini. Secara umum, aku bisa menganggapmu: temanku.
Lagu Vergessen zu Vergessen dari Luxulärm, mengalir melalui kabel headset menuju telingaku. Menambah kegetiran malam ini. Mengingatkan
aku akan bahasa yang digunakan olehmu. Apa kau menyukai lagu ini juga?
Lagi-lagi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa aku utarakan langsung padamu.
Sekaligus tidak akan pernah kau jawab.
Pertanyaan
itu hanyalah satu dari sejuta pertanyaan yang berkeliaran bebas dalam kepalaku.
Hanya di pikiranku saja.
Bagaimana kuliahmu?
Bagaimana TU Dresden?
Bagaimana springbreak-mu? Menyenangkan?
Bagaimana Dresden? Kau senang tinggal disana?
Sudah berapa kali kau pulang ke Hettstedt?
Atau kau dan keluargamu pindah ke Dresden?
Bagaimana Janine?
Di mana ia kuliah?
Oh, iya. Hari ini ada pertandingan Arsenal, kan?
Kau masih menyimpan jersey-nya, kan?
Masih suka memakai topi?
Masih suka mengoleksi topi?
Masih suka berfoto dengan topimu?
Apa kau masih ingat aku?
Atau kau sudah melupakan aku?
Aku menutup mataku. Membayangkan diriku mengatakan rentetan pertanyaan itu padamu. Lalu aku melihatmu
duduk di depanku dengan kemeja hitam bertopi hitam putih seperti yang tampak di
layar laptopku saat ini. Kau tidak bersemangat mendengarku. Kau hanya tertunduk
lesu. Kau tidak membuka mulutmu sama sekali. Aku masih menunggu. Menunggumu
untuk paling tidak menjawab salah satu dari sejuta tanyaku. Tapi kau hanya bergeming.
Bahkan dari yang kubaca dari mukamu, kau tidak berniat meresponku. Sama seperti
ketika kau membaca e-mailku yang terakhir ku kirimkan padamu. E-mail yang hanya
berisi kalimat untuk menyapa sahabat lamanya. E-mail yang aku kirimkan tiga
tahun lalu. Beberapa hari sebelum kau berulang tahun. Tapi kau tidak
membalasnya. Aku tahu mengapa kau tidak membalasnya. Aku tahu kenapa kau tidak
mau melakukannya. Aku tahu. Sungguh, aku benar-benar tahu.
Bisakah
kau bersikap seperti dulu lagi saja padaku? Ayo ejek saja klub sepakbola
favoritku—Bayern Munchen. Ayo! Ejek saja aku sesukamu, tidak apa-apa asal kau
mau kembali seperti dulu. Ah, pertanyaan ke sejuta satu untukmu baru saja lahir
menjadi gelembung udara di dalam otakku.
Kau
tahu, saat aku menemukan sisa-sisa percakapan antara aku dan kau tiga tahun
lalu, ada sesuatu dalam diriku yang rasanya sempit. Sempit mengimpit dadaku.
Sampai terasa sesak. Lalu rasa sempit itu menjalar sampai ke ubun-ubun. Aku
menjengit nyeri saat otakku memaksa mataku untuk terkatup tertahan dan akhirnya
berair. Aku lelah tampak menderita seperti ini. Aku lelah merindu tanpa ada
harapan terbayarnya rasa rindu ini darimu. Aku ingin kau disini. Aku tahu aku
lelah, tapi aku rindu.
No comments:
Post a Comment