Tuesday, 16 October 2012

Huggy


Dear My Lovely Mommy,

I want to hug you. Right now. You're the only one who can give me a sincere hug. A kind of hug that is powerful to calm me down, to make me feel safe, to make me think that everything is always right. I rarely give hug to people or get hug from people. 

As I can remember, I hugged my friend in senior high school,  a long-time hug, and the boys started to stare to us. I could see what in their head was: are they friends or lovers?. It made me insecure when hugging her. I remember when I came out of a lecturer’s office and screamed, “I PASS!!” then accidentally I hugged one of my friends who was sitting in front of the office door. When I had realized, I let go of her immediately. I never hug people except the three of those I mentioned before. 

I only want yours. I want you to calm me down, to make me feel safe, to make me think that everything is always fine. Deep down.. I want to hug you right now. How I wish I could..

Hug me, Mommy.
Hug me now.

October 16th 2012, 11.16 p.m.

Sincerely,
Your daughter.

Sunday, 14 October 2012

Semangat itu... (A Short Story)


Semangat itu.. adalah temen-temen gue sendiri.

Wifa. Si cewek paling tua diantara kami. Dia kuliah di jurusan kebidanan di sebuah sekolah tinggi kebidanan. Tahun depan, dia udah lulus. Dia seneng banget. Dan sumpah, waktu tau kita tertarik abis sama kegiatan melahirkan (secara kita adalah geng yang isinya cewek semua) dia langsung ngejelasin perihal itu dengan rinci beserta istilah-istilah biologi yang bikin kita nanya-nanya kaya,”Hah, apaan tuh?”. Keren. Jujur aja, dulu gue ga nyangka dia bakal sehebat itu. Gue pikir dia bakal menemui banyak kesulitan di perkuliahannya waktu dia bilang dia mau ambil jurusan kebidanan. Gue sempet pesimis sama dia. Soalnya, dulu waktu di SMA dia itu terkenal sebagai ratu nyontek. Haha, mana gue nyangka kalo dia bisa secerdas sekarang.

Joanne. Cewek pemalu yang dulu duduk sebangku sama gue di kelas XII, nyeritain kalo dia sempet ngajar di playgroup milik tantenya. Cool. Wifa nyeletuk di tengah-tengah percakapan, “Wow, Lo ga malu-malu lagi sama orang?” dan Joanna ngejawab dengan mantap, “Enggaklah Wif, Gue kan udah gede.”

Meli. Cewek yang penuh semangat dan pantang menyerah. Waktu gue down gara-gara tugas kuliah yang menggunung, gue pengen banget lari meluk dia dan nangis abis-abisan. Sayangnya, waktu itu gue ga bisa ngealakuinnya. Ya gimana enggak? Gue di Melbourne, sedangkan dia ada di Yogyakarta. Waktu reuni, dia nyeritain kisahnya yang suka banget menentang senior di himpunannya, plus ngelawan asisten dosen yang ngawasin ujian prakteknya.  Dia juga bilang, dia ga suka banget sama temen kuliahnya yang rajin nyontek. Dan waktu semester satu, dia dapet IP yang kalo diibaratin kaya duit receh pecahan 100 rupiah yang digiles kereta api. Tipis banget. Waktu tahu hal itu, di semester dua dia belajar dan ngerjain tugas abis-abisan sampe larut malem. Dia juga belajar bareng temen yang dia anggep pinter-pinter. “Alhamdulillah, sekarang IP Gue nanjak dikit-dikit,” katanya sambil tersenyum puas.

Sarah. Cewek yang dari dulu gue prediksi bakal jadi wanita mandiri. Gue mikir gitu, soalnya sejak kecil dia udah hidup kepisah sama mama papanya. Selama SD, dia tinggal di Surabaya. Lalu dia ngelanjutin SMP di Yogyakarta. Abis itu, SMA bareng kita-kita di Bandung. Eh, begitu kuliah dia masuk di sekolah tinggi di Jakarta. Dulu, gue sama dia sama-sama daftar ke Melbourne. Tapi, dia yang lebih pinter dari gue, malah ga masuk. Justru gue yang masuk. Beruntungnya gue. Dia sekarang lagi rajin-rajinnya nulis resep masakan dan cerpen-cerpen. Sebetulnya, gue sama dia sama-sama suka nulis dari dulu. Sayangnya gue ga bisa nulis lagi sejak masuk kuliah. Gue juga ga tau kenapa. Sumpah gue iri, dia selalu punya semangat buat nulis.

Mungkin, selama dua tahun ini gue terlalu lama ‘sendiri’. Waktu di SMA, gue punya mereka berempat yang selalu bikin gue semangat, dan ga berhenti ngomporin gue buat ngejar cita-cita gue. Gue selalu ngeluh sama kuliah gue yang gue anggap sebagai pemicu stress nomor wahid.

Gue hampir nyerah, rasanya pengen kabur aja ke Indonesia, tapi.. gue bayangin Meli yang selalu berusaha abis-abisan begadang tiap malem.

Gue selalu menangisi tangan gue yang ga bisa nulis sebaik dulu, lalu gue bayangin Sarah..

Gue selalu menganggap gue ga bakalan bisa sukses di jurusan yang lagi gue tempuh sekarang, gue ga berbakat.. tapi gue bayangin Wifa yang ga disangka-sangka bisa menguasai ilmu kebidanan.

Dan sumpah, gue adalah cewek Indonesia paling pemalu seantero Melbourne.. tapi gue harus inget kata-kata Joanne: Gue udah gede. Gue ga boleh jadi pribadi yang pemalu lagi.

Gue berterimakasih banget sama Allah Swt yang udah mengadakan yang namanya lebaran, sebuah kesempatan untuk kumpul sama temen-temen gue. Pemompa semangat gue. Gue ga perlu ngerasa ‘sendiri’ lagi.

Dank an:
Allah Swt.
My friends at Sakti. Love you all guys :))

Friday, 12 October 2012

Nightmare: A Very Short Story


"Oh but the place is filled with the sweetest memories..

memories so sweet that I cry..
Dreams that I've had left me feeling so bad..
I just wanna give up and lay down and die.."

Home of The Blues - Johnny Cash


I was standing there with a silly nametag. Name tag which was made in a square cardboard, and had to look like "a half" of England flag. I was not alone. I was there with more than two hundred people whose nametag were similar with mine. I was holding a box. A little box that I had made yesterday night. I was told by my senior to make anything using England attribute. And the material should be secondhand things. I could not think anything creative. So I just took two boxes of empty tea. Cutting it here and there. Covering it with blue, white, and red cardboard. And.. I was holding it. A box with England flag on top. Honestly, I was not listening to whatever my senior standing in front of me was saying at that time. Although he had brought a loudspeaker in his mouth. There was something more attractive than his speech.

A black, red, and yellow ribbon twisting on new German students' head. I was wearing that ribbon on my head at that time. Those.. those people who were wearing it now are my friends. Their nametag was the shape of heart. Then I bowed to see my nametag. It was a square. A square.. Then I put my hand on my head. I touched it to make sure that I was wearing that ribbon. A moment later, I realized. I was wearing anything but nothing. I saw they made a line and went. I asked myself why don't they go with me?

"Hey, hey, you!" someone was shaking my shoulder. My senior. "Come on, you have to walk, we're walking to our faculty. Come on, hurry up!" instructed him.
I tried to see the new German students. They were getting out of my sight. Once more I questioned myself. Why am I here? I should be there! I should be there with them! I'm not an English student! I'm not!!
"Please tell me it's only a nightmare!" I screamed while I was walking. The more-than-two-hundred new English students stared at me. My senior took me out of the line.
"What's wrong with you?" asked him angrily.
"You're not true!"
"What are you talking about??" the tone of his voice increased.
The tears streamed down my face.
"Tell me that you're just a part of this nightmare! Tell me, tell--"
"Stop what you're saying!" said him. His right hand slapped my left cheek.
It hurt.


Dank an:
- Allah Swt.
- English Writing Community for yesterday's weekly meeting :) keep inspiring! :))

Sunday, 7 October 2012

A Letter You'll Never Read (A Quickly-Written Story)



"Warum schau ich nach einem Zeichen,
nach irgend ´ner SMS?
Um ´ne Geschichte zu hören,
die nie begonnen hat.
Geht´s dir genauso wie mir?
Weißt du noch?
Es sind Welten, die uns trennen.
Nichts ist ewig!
Hast du meine Stimme schon gelöscht?
Ist es so weit?
...
Ich hab nur grad vergessen zu vergessen,
dass es dich gibt!"
Vergessen zu Vergessen - Luxulärm

(Why am I looking for a sign, for a text message?
Just to listen to a story that never even began.
Are you feeling the same?
Do you remember?
The different worlds are keeping us apart.
Nothing lasts forever.
Did you already erase my voice?
Has the time come?
I simply just forgot to forget that you exist!)



Lieber Basti,

Betapa komplitnya sakit gara-gara merindukanmu malam ini. Malam minggu. Memikirkan kau yang sama sekali tidak memikirkanku.

Kau Basti Reinhardt. Lelaki berkebangsaan Jerman namun dengan anehnya merupakan seorang fans klub sepakbola Inggris, Arsenal. Lelaki yang usianya lebih tua satu tahun kurang sepuluh hari dariku. Lelaki yang memiliki rambut cokelat kemerahan dan mata berwarna biru. Alumni Gymnasium Wilhelm und Alexander von Humboldt dan sekarang sudah menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Geografi di Universitas Teknik Dresden. Orang yang memiliki mobil dengan pelat nomor ML – MB – 640. Kekasih dari gadis cantik asal Magdeburg yang bernama Janine Schwarz. Lelaki yang wajahnya kini sedang menampang di layar laptopku saat ini. Secara umum, aku bisa menganggapmu: temanku. 

Lagu Vergessen zu Vergessen dari Luxulärm, mengalir melalui kabel headset menuju telingaku. Menambah kegetiran malam ini. Mengingatkan aku akan bahasa yang digunakan olehmu. Apa kau menyukai lagu ini juga? Lagi-lagi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa aku utarakan langsung padamu. Sekaligus tidak akan pernah kau jawab.

Pertanyaan itu hanyalah satu dari sejuta pertanyaan yang berkeliaran bebas dalam kepalaku. Hanya di pikiranku saja.

Bagaimana kuliahmu?
Bagaimana TU Dresden?
Bagaimana springbreak-mu? Menyenangkan?
Bagaimana Dresden? Kau senang tinggal disana?
Sudah berapa kali kau pulang ke Hettstedt?
Atau kau dan keluargamu pindah ke Dresden?
Bagaimana Janine?
Di mana ia kuliah?
Oh, iya. Hari ini ada pertandingan Arsenal, kan?
Kau masih menyimpan jersey-nya, kan?
Masih suka memakai topi?
Masih suka mengoleksi topi?
Masih suka berfoto dengan topimu?
Apa kau masih ingat aku?
Atau kau sudah melupakan aku?

Aku menutup mataku. Membayangkan diriku mengatakan rentetan pertanyaan itu padamu. Lalu aku melihatmu duduk di depanku dengan kemeja hitam bertopi hitam putih seperti yang tampak di layar laptopku saat ini. Kau tidak bersemangat mendengarku. Kau hanya tertunduk lesu. Kau tidak membuka mulutmu sama sekali. Aku masih menunggu. Menunggumu untuk paling tidak menjawab salah satu dari sejuta tanyaku. Tapi kau hanya bergeming. Bahkan dari yang kubaca dari mukamu, kau tidak berniat meresponku. Sama seperti ketika kau membaca e-mailku yang terakhir ku kirimkan padamu. E-mail yang hanya berisi kalimat untuk menyapa sahabat lamanya. E-mail yang aku kirimkan tiga tahun lalu. Beberapa hari sebelum kau berulang tahun. Tapi kau tidak membalasnya. Aku tahu mengapa kau tidak membalasnya. Aku tahu kenapa kau tidak mau melakukannya. Aku tahu. Sungguh, aku benar-benar tahu.   

Bisakah kau bersikap seperti dulu lagi saja padaku? Ayo ejek saja klub sepakbola favoritku—Bayern Munchen. Ayo! Ejek saja aku sesukamu, tidak apa-apa asal kau mau kembali seperti dulu. Ah, pertanyaan ke sejuta satu untukmu baru saja lahir menjadi gelembung udara di dalam otakku.

Kau tahu, saat aku menemukan sisa-sisa percakapan antara aku dan kau tiga tahun lalu, ada sesuatu dalam diriku yang rasanya sempit. Sempit mengimpit dadaku. Sampai terasa sesak. Lalu rasa sempit itu menjalar sampai ke ubun-ubun. Aku menjengit nyeri saat otakku memaksa mataku untuk terkatup tertahan dan akhirnya berair. Aku lelah tampak menderita seperti ini. Aku lelah merindu tanpa ada harapan terbayarnya rasa rindu ini darimu. Aku ingin kau disini. Aku tahu aku lelah, tapi aku rindu.

Liebe Gruesse aus Indonesien.



*Lyrics translation above is taken from www.lyricstranslate.com*