Friday, 9 November 2012

The Last Tone

Minggu sore yang mendung. Tim Marching Band SMA Sayang Ibu sedang berderet rapih mengiringi arak-arakan parade kostum acara penutupan perkemahan ekskul Pramuka. Walaupun mendung, tim Marching Band ini tampak senang-senang saja. Ketua tim Marching Band, Desi tampak paling senang. Karena timnya dipercaya oleh ekskul lain untuk mengisi suatu acara. Rendi salah satu anggota Marching Band hari itu tidak bisa memegang alat musiknya, belira. Itu karena dia juga anggota Pramuka. Jadi dia harus mengurus ekskul Pramukanya.
"Ayo, kak Desi, kak Clara, kak Gifar, sama yang lainnya kumpul!" suruh Rendi sesaat sebelum parade dimulai.
"Mau foto?" kata Clara bersemangat begitu melihat kamera di genggaman Rendi.
Semua anggota tim berfoto dengan tawa dan senyum terkembang di wajah mereka. Tampak bahagia. Semuanya. Terkecuali Rendi. Tapi dia yang mengabadikan kebahagiaan itu.



***

Hari Rabu menggandeng hujan lebat bersamanya. Denting-denting nyaring yang ditimbulkan belira terdengar dari dalam ruang kesenian.
Rendi memukul-mukulkan stik berujung bola kuning itu ke atas badan belira.
"Lagu 'Kuburan', Ren?" tanya Clara yang muncul di ambang pintu dengan tawa kecilnya.
"Iya, Kak." jawab Rendi sambil tersenyum.
"Yang lain belum pada dateng?"
"Lagi solat dulu kayaknya atau kejebak hujan."
"Oh iya.. Hujannya gede banget."
Belira itu kembali mengeluarkan dentingan-dentingan nyaring. Clara mengambil satu tongkat belira dari sarung berwarna merah. Lalu, ia pun duduk di depan Rendi.
"Sini aku bantuin cari nadanya, ya?" Clara menawarkan diri.
"Boleh, boleh. Haha.."
Derap kaki seseorang terdengar di depan ruang kesenian. Rendi dan Clara menoleh saat Desi datang dengan seragam SMA yang basah kuyup. Kedua orang yang tadinya tengah asyik bermain belira sebelumnya, kini berhenti sejenak untuk menertawakan Desi.
"Ya ampun Des.. gak bawa payung?" tanya Clara di tengah tawanya.
"Aku kira gak bakal segede gini hujannya." keluh Desi. "Dingin!" katanya sambil mengusap-usap lengannya.
Desi mengambil triotomnya. Dan mulai pemanasan dengan memukulkan tongkat pada alat musik itu.
Rendi dan Clara melanjutkan permainan 'pencarian nada'-nya.
"Eh, eh, eh, coba kalian mulai dari awal nadanya. Aku iringin pake ini," terdengar bunyi triotom saat Desi berkata 'ini'.
"Oke, kita mulai, Kak!" kata Rendi pada Clara.
Dan mulailah perpaduan antara dentingan belira dan ketukan triotom. Mereka tertawa saat salah satu dari mereka salah memilih nada yang benar. Semua yang mereka rasakan dan lakukan tampak kontras dengan cuaca hari itu.

Masih di hari yang sama, kini dengan gerimis-gerimis lembut terjun dari langit. Latihan Marching Band hari itu sudah selesai.
"Kak," panggil Rendi pada Clara.
"Iya, Ren?"
Rendi mengangkat sebuah helmet. Helmet yang biasa dipakai Clara untuk nebeng motornya sehabis pulang latihan.
"Oh, aku gak nebeng sama kamu dulu, Ren. Aku mau ke rumah Desi ngambil buku bahasa Jerman aku. Gapapa kan?"
"Yah, aku sendirian dong di jalan?" kata Rendi, bergurau.
"Haha, apa sih? Biasanya juga sendiri. Udah sana. Hati-hati, ya? Nanti, kalo ujannya gede lagi, berhenti dulu."
Namun, hujan lebat kembali tumpah dari langit.


***


Rabu 21.45
From: Desi
Clara.. :(

Pesan itu diterima Clara saat ia sudah selesai mengerjakan PR Bahasa Jerman di rumahnya.

To: Desi
Kenapa Des?

From: Desi
Rendi katanya kecelakaan. Sekarang lagi koma di rumah sakit.

Clara segera menelpon Desi.
"Halo Des? Serius Rendi..."
"Serius Clara. Gifar yang ngeliat sendiri kejadiannya.  Dia ada di belakang motornya Rendi...Hujannya gede lagi waktu kecelakaan itu."
Desi menceritakan kronologis kecelakaan yang mengerikan yang didengarnya dari Gifar. Clara merinding. Matanya terasa panas.
"Ini semua salah aku, Des.. salah aku.. Aku harusnya pulang sama dia. Kalo aku pulang sama dia, aku bakalan nyuruh dia berhenti dulu waktu hujan gede itu. Dia itu begitu! Selalu aja maksain jalan walaupun hujan gede!"
Hening. Hanya isakan isakan yang terdengar dari kedua sambungan telepon.
"Tapi dia pake helm kan?" tanya Clara lirih.
"Iya. Tapi.. ah, Clara.. dia bakalan baik-baik aja kan? Ya, kan?"
Lalu mereka berdua pun terisak lagi dengan suara yang lebih keras.


***

Sabtu pagi yang mendung. Semua anak di sekolah berbisik, membicarakan hal-hal dengan wajah yang serius. Tidak ada teriakan-teriakan dari anak-anak cowok. Tidak ada tawa-tawa centil dari anak-anak perempuan. Semuanya murung.
Begitu Clara berjalan di koridor. Dia merasakan ketidakberesan di sekolahnya. Ya, Allah jangan! Jangan! teriak Clara dalam hatinya sambil berlari menahan tangis menuju kelasnya.
Saat pintu kelas dibuka, ia melihat raut murung dari teman-temannya. Terlebih lagi Desi. Mukanya merah dengan tisu di tangannya. Matanya kini tertuju pada Clara yang bengong di ambang pintu.
"Clara.." panggilnya dengan suara serak. "He couldn't make it.." dan kemudian tangisnya pecah.
Cuaca hari itu sangat sesuai dengan perasaan yang mereka alami.



***

p.s. This story is dedicated to my junior in Marching Band who passed away in 2009. Rest in peace, buddy.. May Allah swt bless you :')

No comments:

Post a Comment